Selasa, 26 Oktober 2010

Restoran yang Bermoto “The Touch of Parahyangan Culture”

Jangan sekedar melirik! Datang, icip-icip, dan… buktikan rasanya! Begitu kiranya perluasan arti nama restoran yang berlokasi di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan ini. Dalam bahasa Sunda, sindang artinya datang, sementara reret bermakna melirik. Mengusung konsep etnik minimalis, restoran ini mampu memanjakan kita melalui citarasa hidangan khas Parahyangan.

Sebagai pembuka, saya mendahuluinya dengan sepiring lotek. Jika Anda sudah biasa mencicipi karedok yang terdiri dari sayuran segar seperti kangkung, tauge, kol dan waluh disiram bumbu kacang, maka lotek memiliki bahan yang sama hanya bedanya seluruh bahan direbus terlebih dahulu.

Selesai menikmati sajian pembuka, saya kembali dihidangkan dengan aneka ragam sajian lainnya: semangkuk panas soto bandung yang berisikan potongan dadu daging sapi, lobak, dan kacang kedelai goreng yang ditambah condiment sambal ijo dan jeruk nipis. Ini sanggup menyihir lidah dan perut saya. Ada pula sop ikan gurame atau aneka sop buntut (bakar goreng dan asam pedas) sebagai hidangan berkuah lainnya.

Masuk ke menu utama, ada sajian khas Sunda: ikan gurame. Sindang Reret menyajikan bermacam hidangan ikan dengan gurame sebagai menu favorit. Bumbu yang ditawarkan pun tak kalah banyak variasinya. Anda bisa saja memesan ikan gurame goreng atau bakar, namun pesanan tersebut dapat dicampur dengan aneka rasa bumbu, seperti kecap, acar kuning, pesmol, rujak, cobek, cabe hijau, hingga asam manis.

Favorit saya adalah ikan gurame mangga muda. Tak banyak tempat yang memiliki menu ini, Jadi, ketika Anda sempat bertandang ke restoran ini, jangan lewatkan menu ini. Kenapa? Karena ikan gurame mangga muda akan membawa pengalaman kuliner tersendiri bagi Anda. Campuran sausnya terdiri dari irisan mangga muda, bawang merah, cabe merah, cabe rawit, kacang goreng, dan gula merah. Rasa gurih, asam, manis, dan pedas akan menjadi pengalaman yang tak terlupakan. Sementara apabila ingin menikmati menu lain, cobalah ayam bakar pedas yang disirami bumbu serupa sambal matah ala Bali yang ditambahkan irisan strawberry sebagai garnish.

Sembari menikmati alunan musik tradisional kecapi suling, saya yang duduk santai di saung (lesehan) pun asyik menikmati sajian selanjutnya: gepuk atau empal. Gepuk di sini punya tekstur empuk dan bumbunya sangat “terasa”; cocok dipadukan dengan sambal dadak atau bahkan sambal mangga.

Agar tak terasa kering karena sedari tadi hanya mencicipi lauk saja, kemudian saya memesan hidangan tumis atau oseng. Berbagai jenis tumisan menciptakan keunikan rasa yang istimewa. Mulai dari oseng ginseng special, tumis teri pucuk waluh, tumis kiciwis siram udang, hingga yang menjadi favorit saya, tumis genjer oncom - paduan daun genjer dengan taburan
Layung katineung.

Puas berwisata rasa dengan lauk pauknya, saatnya saya melirik minuman yang disajikan di restoran ini. Selain terdapat minuman khas seperti bandrek dan bajigur, ada pula beberapa minuman spesial yang menarik untuk dicicipi, diantaranya layung katineung, katumbiri, krakatau, dan sangkuriang.

Meskipun berkesan elegan dari tampilan dan kualitasnya, namun harga yang ditawarkan restoran ini relatif cukup terjangkau. Harga makanannya berkisar antara Rp 10.000 sampai Rp.65.000; sedangkan minuman antara Rp 10.000 hingga Rp.22.000. Dengan harga sedemikian, Anda pun dapat menggunakan fasilitas free wi-fi yang disediakan oleh restoran ini. Semuanya tampak menjadi pas bagi Anda yang ingin bersantai bersama keluarga, teman-teman, atau pula dengan pasangan.

Pelayanan yang ramah dan bersahabat menjadikan restoran yang bermoto “The Touch of Parahyangan Culture” ini layak untuk dikunjungi oleh para penikmat kuliner. Inilah sajian Parahyangan yang sehat, berkualitas, dan bercitarasa khas.

* wisataloka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar