Layaknya kota urban, Kota Bogor memiliki aset-aset kuliner yang sangat beragam, baik makanan yang berciri khas Bogor, maupun makanan dari daerah lain, seperti nasi Padang, soto Lamongan, bakso Solo, dan seterusnya. Masing-masing menunjukkan ciri khas dan membawa nama daerahnya.
Salah satu tempat makan yang cukup mempunyai ciri khas, berada di Jl. Pajajaran 69, Bogor. Untuk mendatangi tempat itu, dari arah Terminal Baranangsiang menuju ke Jl. Tajur, resto itu berlokasi di sebelah kiri jalan. Resto yang bangunannya berdisain minimalis modern dengan kolaborasi unsur etnik Sunda itu, bernama de’ Leuit Restaurant.
”Awal peresmiannya, resto ini bernama Gili-gili yang berarti pematang sawah. Namun karena sekarang suasana sekitar sudah tidak ada sawah, akhirnya kami mengganti nama menjadi de’ Leuit,” ungkap Didin Mardiansyah, public relations de’ Leuit Restaurant kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Dikatakan Didin, de’ Leuit mungkin nama yang kurang akrab di telinga para petualang kuliner yang bukan berasal dari tanah Sunda. Dalam bahasa Sunda, lanjut Didin, leuit artinya lumbung padi. Sesuai dengan namanya, de’Leuit Restaurant menawarkan berbagai macam makanan dan minuman dengan kenyamanan yang bernuansa alam.
”Kami sengaja menata ruangan dengan furniture berkonsep back to nature, dan menambahkan kolam-kolam kecil di sudut tempat duduk untuk memberikan kesejukan supaya pelanggan merasa betah di tempat kami,” ujarnya.
Selain lokasinya yang strategis dan mudah dijangkau, lanjut Didin, de’Leuit Restaurant juga sangat digemari karena mempertahankan citarasa Sunda di setiap sajian menunya. ”Ketika menjelang weekend atau tanggal merah, pelanggan yang mendatangi tempat kami bisa mencapai sekitar seribu orang. Bahkan mereka bersedia menunggu untuk mendapatkan giliran tempat duduk,” papar pria asal Bandung itu.
Diakui Didin, dari sekitar seratus jenis makanan dan minuman yang ditawarkan, Indonesian Food lebih mendominasi, terutama masakan Sunda. ”Namun kami juga menyediakan menu Chinnese Food yang tak kalah favoritnya dengan masakan Sunda,” terangnya seraya menambahkan, mayoritas pelanggannya berasal dari kalangan eksekutif muda dan keluarga.
Menu yang paling difavoritkan pengunjung, imbuh Didin, adalah Nasi Jambal dan Udang Telur Asin. Rasa yang gurih dari bumbu-bumbu rahasia racikan ala de’ Leuit yang ditampilkan menu itu, mampu membius lidah pengunjung.
”Berdasarkan komunikasi dengan pelanggan, nasi jambalnya tuh benar-benar nancap di mulut. Apalagi ditambah dengan campuran ikan asin jambal, semakin mantap kata mereka,” ucap Didin yang dulu pernah bercita-cita menjadi dokter itu.
Salah satu kelebihan de’ Leuit yang sangat nampak, ialah pelayanan yang tidak membiarkan pelanggan menunggu lama dalam pemesanan makanan. ”Selain itu, keramahan para pelayan dan masalah kebersihan merupakan point penting yang tidak boleh ditinggalkan,” bebernya seraya menambahkan, meski telah lewat jam makan siang resto itu tak henti-henti didatangi pelanggan setianya.
Dan hal yang sudah disebutkan tadi bisa langsung terlihat. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, telah terhampar tiga sajian nasi jambal dengan pilihan yang berbeda-beda. Ada nasi jambal dengan ikan balita, nasi jambal dengan empal, dan nasi jambal dengan ayam goreng.
Namun saya lebih tergelitik dengan pilihan nasi jambal yang dilengkapi ikan balita dengan bentuk mungilnya. Tampilannya cukup beragam, khususnya nasi yang sudah tercampur dengan potongan ikan jambal, ikan balita, bakwan jagung, tahu, oncom, sambal dan lalapan, benar-benar pas buat menu makan siang.
Ketika menyuapkan nasi jambal ke dalam mulut, dahi ini sempat mengerenyit sesaat. Di dalam nasi jambal yang terkoyak itu, ada rasa pahit yang agak asing di indra pengecap. Dan tanpa sengaja, mata ini melihat ’musuh besar’ yang menyembul di antara setangkup nasi jambal.
Ternyata yang tergigit ialah sang pete, bentuknya yang teriris tipis sempat mengecohkan saya. Akan tetapi, insiden tadi tidak mengurangi semangat saya untuk segera menghabiskan seporsi nasi jambal yang menakjubkan itu.
Wuuiih.. memang masakan Sunda tak kalah nikmatnya dengan makanan ala western. Keringat yang mengucur deras dari kepala ini, pun tak kalah serunya dengan mulut yang terus mengunyah. Tak terasa, ludes lah semua sajian tadi. Apalagi ketika saya meminum segelas teh tawar untuk meredakan pertempuran yang sempat terjadi di dalam perut ini, rasanya benar-benar nampol dan mantap kenyangnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar